Ada
apa dengan daun kelor, citosan, biji
asam jawa, biji kecipir????
Assalamu’alaikum
wr,wb. Salam lapan..
sudah menjadi santapan umum di banyak kampung-kampung, bahwa taneman kelor tuh khususnya daunnya digantungin didepan pintu-pintu rumah, pas ditanya.. katanya buat ngusir kolor ijo atau drakula atau apalah...
wahaha... jadi serem, jangan sampe jadi syirik gara-gara percaya kaya begituan, tapi hal yang akan dibahas dibawah ini pastinya dijamin halal.
jadi kite-kite pade mau
berbagi nih tentang koagulan alami, buat temen-temen yang punya masalah dengan
keadaan air di rumah / lokasi tempat tinggal. Entah itu airnya keruh, agak bau
de-el-el deh.. nah bisa baca dan simak baik-baik artikel ini, mudah-mudahan
bisa bermanfaat ^^
Sekilas tentang Koagulasi
Nih buat yang
masih bingung sama definisi koagulasi, silakan definisikan berdasarkan
imajinasi ente masing-masing^^.
Kekeruhan dalam
air bisa disebabkan oleh zat-zat tersuspensi dalam bentuk lumpur kasar, lumpur
halus, dan koloid (sifat antara larutan dan suspensi). Permukaan koloid
memiliki muatan listrik sehingga koloid sulit untuk bersatu membentuk partikel
yang berukuran lebih besar, akibatnya partikel stabil dan sulit untuk
mengendap. Apabila kekuatan ionik tersebut dalam air cukup besar, maka
keberadaan koloid dalam air sudah dalam bentuk terdestabilisasi. Destabilisasi
ini disebabkan oleh ion monovalen dan divalen yang berada dalam air. Yang
menjadi masalah adalah apabila kekuatan ionik dalam air sangat kecil sehingga
menyebabkan koloid dalam air dalam kondisi stabil, sehingga susah saling
berikatan karena seluruh koloid memiliki muatan yang sama. Untuk itulah diperlukan
proses koagulasi untuk mendestabilkan koloid-koloid tersebut.
Proses
koagulasi hanya dapat berlangsung bila ada pengadukan. Ada tiga faktor yang
menentukan keberhasilan suatu proses koagulasi yaitu:
- Jenis bahan kimia koagulan yang dipakai
- Dosis pembubuhan bahan kimia
- Pengadukan dari bahan kimia
Koagulan
digunakan secara umum dalam proses pengolahan air untuk berbagai tujuan.
Prinsip kerjanya adalah untuk mendestabilisasi partikel tersuspensi (koloid)
dan memperbesar laju pembentukan flok.
Atau secara
sederhana dapat diartikan sebagai berikut: coba deh temen2 bayangin ketika kita
pengen ngejernihin air yang keruh pastinya kan ada penyaringan atau filtrasi
kan, nah lebih mudah mana kalo endapannya itu kecil-kecil atau gede-gede?
Pastinya gede-gede dong... nah oleh karena itu kita gumpalkan(koagulasi) dulu
partikel endapannya supaya gampang disaring gituh. Okey,, udah faham kan ente
pade...^^
Koagulan Alami
Pusat-pusat
pengolahan air perkotaan atau municipal water treatment dengan skala besar
mengolah air dengan cara menambahkan senyawa kimia penggumpal (koagulan) ke
dalam air kotor yang akan diolah. Dengan cara tersebut, partikel-partikel yang
berada di dalam air akan menjadi suatu gumpalan yang lebih besar lalu
mengendap, baru kemudian air di bagian atas yang bersih dipisahkan untuk
digunakan keperluan sehari-hari. Namun demikian, zat kimia penggumpal yang baik
tidak mudah dijumpai di berbagai daerah terpencil. Andaipun ada, pasti harganya
tidak terjangkau oleh masyarakat setempat.
Salah satu alternatif yang tersedia secara lokal adalah penggunaan koagulan
alami dari tanaman, yang barangkali, dapat diperoleh di sekitar kita.
Penelitian dari The Environmental Engineering Group di Universitas Leicester,
Inggris, telah lama mempelajari potensi penggunaan berbagai koagulan alami
dalam proses pengolahan air skala kecil, menengah, dan besar. Penelitian
tersebut dipusatkan terhadap potensi koagulan dari tepung biji tanaman Moringa
oleifera. Tanaman tersebut banyak tumbuh di India bagian utara, tetapi
sekarang sudah menyebar ke mana-mana ke seluruh kawasan tropis, termasuk
Indonesia. Di Indonesia tanaman tersebut dikenal sebagai tanaman kelor dengan
daun yang kecil-kecil. Selain itu, alternatif lain adalah dengan pemanfaatan
Chitosan dan Chitin yang terdapat pada limbah udang.
· Pemanfaatan Biji Kelor (Moringa oleifera)
Biji
kelor merupakan alternatif koagulan organik. Biji kelor sebagai koagulan dapat
digunakan dengan dua cara yaitu biji kering dengan kulitnya dan biji kering
tanpa kulitnya (Ndabigengesere dkk, 1995). Hasil analisis elemen pada biji
kelor untuk biji dengan kulit adalah 6,1% N; 54,8% C; dan 8,5% H, sedangkan
untuk biji tanpa kulit adalah 5,0% N, 53,3% C, dan 7,7% H (dalam % berat)
sedang sisanya terdiri atas oksigen (Ndabigengesere dkk, 1995).
Pohon
kelor (Moringa
oleifera) diketahui mengandung polielektrolit kationik dan flokulan
alamiah dengan komposisi kimia berbasis polipeptida yang mempunyai berat
molekul mulai dari 6000 sampai 16000 dalton, mengandung hingga 6 asam-asam
amino terutama asam glutamat, mentionin, dan arginin (Jahn, 1986). Sebagai
bioflokulan, biji kelor kering dapat digunakan untuk mengkoagulasi-flokulasi
kekeruhan air (Jahn, 1986; Sani, 1990; Bina, 1991 dalam Muyibi dan Evison,
1995; Narasiah dkk, 2002).
Efektivitas
koagulasi oleh biji kelor ditentukan oleh kandungan protein kationik
bertegangan rapat dengan berat molekul sekitar 6,5 kdalton. Zat aktif (active
agent) yang terkandung dalam biji kelor yaitu 4α
L-rhamnosyloxy-benzyl-isothiocyanate (Sutherland dkk, 1990; Muyibi dan Evison,
1995). Prinsip utama mekanisme koagulasinya adalah adsorpsi dan netralisasi
tegangan protein tersebut (Ndabigengesere dkk, 1995). Dalam proses
koagulasinya, biji kelor memberikan pengaruh yang kecil terhadap derajat
keasaman dan konduktivitas. Jumlah lumpur yang diproduksi biji kelor lebih
sedikit dari jumlah lumpur yang diproduksi oleh ferro sulfat sebagai koagulan
(Chandra, 1998).
Bahan
koagulan dalam biji kelor adalah protein kationik yang larut dalam air.
Potensial zeta larutan 5% biji kelor tanpa kulit adalah sekitar +6 mV
(Ndabigengesere dkk, 1995). Hal ini menunjukkan bahwa larutan ini didominasi
oleh tegangan positif, meskipun merupakan campuran heterogen yang kompleks.
Potensial zeta air sintetik adalah sekitar -46 mV. Hal ini menunjukkan bahwa
pada pH netral, partikel-partikel bermuatan negatif. Akibatnya, koagulasi
partikel tersuspensi dengan biji kelor dipengaruhi oleh proses destabilisasi
tegangan negatif koloid oleh polielektrolit kationik.
Mekanisme
yang paling mungkin terjadi dalam proses koagulasi adalah adsorpsi dan
netralisasi tegangan atau adsorpsi dan ikatan antar partikel yang tidak stabil.
Dari kedua mekanisme tersebut, untuk menentukan mekanisme mana yang terjadi
merupakan suatu hal yang sangat sukar karena kedua mekanisme tersebut mungkin
terjadi secara simultan. Tapi, umumnya mekanisme koagulasi dengan biji kelor
adalah adsorpsi dan netralisasi tegangan (Sutherland dkk, 1990).
KEUNTUNGAN
- Caranya sangat mudah
- Tidak berbahaya bagi kesehatan
- Dapat menjernihkan air lumpur maupun air keruh
- Kualitas air lebih baik karena:
- Mikroorganisme berkurang
- Zat organik berkurang sehingga pencemaran kembali berkurang
- Air lebih cepat mendidih
KERUGIAN
- Kelor tidak terdapat di semua daerah
- Air hasil penjernihan dengan kelor harus segera digunakan dan tidak dapat disimpan untuk hari berikutnya
- Penjernihan dengan cara ini hanya untuk skala kecil
· Pemanfaatan Chitin dan Chitosan dari Limbah Udang
Limbah
udang yang berupa kulit, kepala, dan ekor yang dengan mudah didapatkan
mengandung senyawa kimia berupa chitin dan chitosan. Senyawa ini dapat diolah
dan dimanfaatkan sebagai bahan penyerap logam-logam berat yang dihasilkan oleh
limbah industri. Hal ini dimungkinkan karena senyawa chitin dan chitosan
mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi, reaktivitas kimia yang
tinggi, dan menyebabkan sifat polielektrolit kation sehingga dapat berperan
sebagai penukar ion (ion exchanger) dan dapat berpungsi sebagai absorben
terhadap logam berat dalam air limbah. Kulit udang yang mengandung senyawa
kimia chitin dan chitosan merupakan limbah yang mudah didapat dan tersedia
dalam jumlah yang banyak, yang selama ini belum termanfaatkan secara optimal.
Chitosan
merupakan bahan kimia multiguna berbentuk serat dan merupakan ko-polimer
berbentuk lembaran tipis, berwarna putih atau kuning, tidak berbau. Kitosan
merupakan produk diasetilasi kitin melalui proses kimia menggunakan enzim kitin
diacetilase (Rismana, 2001).
Chitosan
(CS), derivat deasetilasi dari chitin terdiri atas satuan-satuan glukosamine
yang terpolimerisasi oleh rantai ß-1,4-glikosidic (Simunek et al, 2006).
Chitosan
(poli-ß-1,4-glucosamine) disiapkan secara komersial dengan deasetilase basa
chitin yang didapat dari eksoskeleton crustacea laut, chitosan mempunyai nilai
pKa kira-kira 6,3 pada nilai pH lebih rendah, molekulnya bersifat kation karena
protonasi dari grup amino. Dengan adanya sifat-sifat chitin dan chitosan yang
dihubungkan dengan gugus amino dan hidroksil yang terikat, maka menyebabkan
chitin dan chitosan mempunyai reaktivitas kimia yang tinggi dan menyebabkan
sifat polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai penukar ion (ion
exchanger) dan dapat berperan sebagai absorben terhadap logam berat dalam air
limbah ( Hirano, 1986). Karena berperan sebagai penukar ion dan sebagai absorben,
maka chitin dan chitosan dari limbah udang berpotensi dalam memecahkan masalah
pencemaran lingkungan perairan dengan penyerapan yang lebih murah dan bahannya
mudah didapatkan.
Chitin
termasuk golongan polisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi dan merupakan
melekul polimer berantai lurus dengan nama lain
β-(1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa (N-asetil-D-Glukosamin) (Hirano, 1986;
Tokura, 1995). Struktur chitin sama dengan selulosa dimana ikatan yang terjadi
antara monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada posisi β-(1-4).
Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat pada atom
karbon yang kedua pada chitin diganti oleh gugus asetamida (NHCOCH2) sehingga
chitin menjadi sebuah polimer berunit Nasetilglukosamin (The Merck Indek,
1976). Chitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10 (Hirano, 1976), merupakan zat
padat yang tak berbentuk (amorphous), tak larut dalam air, asam anorganik
encer, alkali encer dan pekat, alkohol, dan pelarut organik lainnya tetapi
larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Chitin kurang larut dibandingkan
dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit,
sedangkan chitosan adalah chitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin.
Chitosan
yang disebut juga dengan β-1,4-2 amino-2-dioksi-D-glukosa merupakan turunan
dari chitin melalui proses deasetilasi. Chitosan juga merupakan suatu polimer
multifungsi karena mengandung tiga jenis gugus fungsi yaitu asam amino, gugus
hidroksil primer, dan skunder. Adanya gugus fungsi ini menyebabkan chitosan mempunyai
kreatifitas kimia yang tinggi (Tokura, 1995). Chitosan merupakan senyawa yang
tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3, dan
H3 PO4, dan tidak larut dalam H2SO4. Chitosan tidak beracun, mudah mengalami
biodegradasi, dan bersifat polielektrolitik (Hirano, 1986). Di samping itu,
chitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti
protein. Oleh karena itu, chitosan relatif lebih banyak digunakan
pada berbagai bidang industri terapan dan induistri kesehatan (Muzzarelli,
1986).
Chitin
dan chitosan yang diperoleh dari limbah kulit udang digunakan sebagai absorben
untuk menyerap ion kadmium, tembaga, dan timbal dengan cara dinamis dengan
mengatur kondisi penyerapan sehingga air yang dibuang ke lingkungan menjadi air
yang bebas dari ion-ion logam berat.
Bersambung
...
untuk
biji kecipir dan biji asam jawa^^
chie,
Oktober 2012, Tugas Makalah Unit Proses 2009, dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment